Elangmaut Indonesia Nota Kesepahaman (MoU) antara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Dewan Pers dirancang untuk melindungi kebebasan pers dan menghindari kriminalisasi wartawan. Melalui MoU ini, setiap laporan terkait pemberitaan atau tindakan wartawan akan dikaji terlebih dahulu oleh Dewan Pers untuk menentukan apakah hal tersebut merupakan produk jurnalistik yang sah. Jika dianggap demikian, penyelesaiannya dilakukan dengan mekanisme hak jawab atau hak koreksi, tanpa melibatkan proses hukum pidana. Namun, jika ada penyalahgunaan profesi di luar koridor UU Pers, Polri bisa mengambil langkah hukum sesuai Undang-undang yang berlaku.
Menurut Benny F. Surbakti, SH., MH., Pembina Club Hukum Elang Maut Indonesia, bahwa terkait MoU ini mendapat perhatian luas di kalangan jurnalis dan masyarakat, terutama dalam penerapannya. Banyak yang berharap MoU ini efektif mengurangi kriminalisasi terhadap jurnalis, meski tantangan dalam penerapan masih ada.
Benny F. Surbakti, SH., MH., yang juga selaku pendiri LBH Elang Maut Indonesia, menyatakan, pihak kepolisian, khususnya penyidik, sebaiknya melakukan kajian mendalam sebelum menerima laporan yang menargetkan wartawan. Dalam pandangannya, pendekatan ini penting untuk mencegah potensi kriminalisasi jurnalis dan memastikan kasus yang terkait dengan pers tidak langsung masuk ke proses pidana.
Nota Kesepahaman (MoU) antara Polri dan Dewan Pers memang mengatur mekanisme ini. Berdasarkan MoU tersebut, setiap laporan terkait dugaan pelanggaran oleh wartawan, seharusnya diperiksa terlebih dahulu oleh Dewan Pers untuk menentukan apakah hal tersebut termasuk dalam kategori karya jurnalistik yang dilindungi. Jika Dewan Pers menyatakan, bahwa kasus tersebut adalah bagian dari produk jurnalistik yang sah, penyelesaiannya diupayakan melalui hak jawab atau hak koreksi, dan bukan lewat jalur hukum pidana.
– Langkah agar Polisi Paham soal Kasus yang Menimpa Wartawan –
Benny juga menyebut, terkait langkah-langkah apa, agar pihak kepolisian paham terkait kasus yang menimpa wartawan.
Agar polisi memahami dan menangani kasus yang melibatkan wartawan sesuai koridor hukum yang berlaku, beberapa langkah dapat diambil, seperti:
1. Pelatihan dan Edukasi Rutin: Mengadakan pelatihan rutin bagi penyidik terkait Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Ini akan membantu mereka memahami batasan antara produk jurnalistik yang dilindungi undang-undang dan tindakan yang melanggar hukum.
2. Kerja Sama dengan Dewan Pers: Setiap laporan yang berpotensi melibatkan jurnalis atau media, terutama yang terkait dengan dugaan pencemaran nama baik atau pelanggaran lainnya, sebaiknya dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Dewan Pers. Pola kerja sama ini diatur dalam MoU antara Polri dan Dewan Pers, di mana laporan yang termasuk karya jurnalistik diselesaikan dengan mekanisme hak jawab, tanpa langsung dibawa ke ranah pidana.
3. Peningkatan Pemahaman Terhadap MoU: Sosialisasi dan pemahaman mendalam terhadap Nota Kesepahaman antara Polri dan Dewan Pers dapat dilakukan, sehingga aparat memahami prosedur penanganan khusus bagi kasus yang melibatkan wartawan dan karya jurnalistik.
4. Pembentukan Unit Khusus: Membentuk unit khusus atau menunjuk petugas yang memahami hukum pers dalam setiap satuan kerja kepolisian, sehingga laporan yang terkait dengan jurnalisme dapat ditangani dengan lebih profesional dan akurat.
5. Monitoring dan Evaluasi Berkala: Melakukan evaluasi berkala terhadap implementasi MoU untuk memastikan bahwa mekanisme yang disepakati berjalan efektif dan sesuai dengan tujuan.
“Langkah-langkah ini penting untuk memperkuat perlindungan terhadap kebebasan pers dan memastikan, bahwa jurnalis dapat bekerja tanpa rasa takut akan kriminalisasi yang tidak sesuai dengan koridor hukum,” pungkas Benny F. Surbakti, saat ditemui di kediamannya. (Red)