Elang Maut Indonesia – Dalam ilmu tata negara, posisi pemerintah tidak pernah dimaknai sebagai “penguasa” yang berdiri di atas rakyat. Pemerintah hanyalah pengelola negara yang mendapat mandat dari rakyat untuk menjalankan urusan bersama. Kekuasaan yang mereka pegang bukanlah milik pribadi, melainkan amanah yang harus digunakan sebesar-besarnya demi kepentingan umum.
Konstitusi Indonesia jelas menegaskan hal ini. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Artinya, rakyat adalah pemilik kekuasaan tertinggi, sementara pemerintah hanya menjalankan mandat sesuai hukum dasar.
BACA JUGA :Jika Hukum Acara Dilanggar, Maka Penegak Hukumnya adalah Pelaku Kejahatan
Filsuf politik Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya Du Contrat Social (1762) juga menegaskan prinsip serupa. Menurutnya, negara berdiri atas dasar kontrak sosial antara rakyat dan pemerintah. Jika pemerintah melampaui batas, bertindak seolah penguasa, maka kontrak sosial itu dianggap rusak, dan rakyat berhak mempertanyakan legitimasi kekuasaan.
Namun dalam praktik, sering kali kita menyaksikan perilaku aparat atau pejabat yang seolah-olah merasa sebagai pemilik negara. Ketika kekuasaan dijalankan dengan pola pikir “penguasa”, bukan “pengelola”, maka terjadilah penyalahgunaan mandat. Hukum bisa diperalat, kebijakan menjadi tidak adil, dan rakyat merasakan jarak dengan mereka yang seharusnya menjadi pelayan publik.
Fenomena ini oleh para ahli disebut sebagai penyimpangan mandat. Mandat yang seharusnya dipakai untuk melayani rakyat justru dipakai untuk melanggengkan kepentingan segelintir kelompok. Dampaknya jelas: rakyat kehilangan kepercayaan, rasa keadilan hilang, dan hubungan antara negara dan warga menjadi rusak.
Contoh kasus nyata dapat kita lihat dalam beberapa peristiwa di Indonesia:
Kasus aparat yang represif terhadap demonstrasi mahasiswa. Aksi mahasiswa yang sejatinya dilindungi oleh hak konstitusional sering kali dihadapi dengan kekerasan. Padahal, konstitusi menjamin kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum.
Kebijakan publik yang lebih berpihak pada elit dibanding rakyat kecil. Misalnya, program pembangunan yang menyingkirkan warga tanpa ganti rugi memadai. Warga merasa terpinggirkan karena pemerintah lebih dekat pada kepentingan pemodal besar ketimbang melindungi masyarakat.
Penyalahgunaan kekuasaan dalam penegakan hukum. Rakyat sering melihat hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Pejabat yang salah mudah lolos, sementara rakyat kecil mendapat hukuman berat. Fenomena ini menunjukkan pemerintah bertindak bukan sebagai pengelola yang adil, tetapi sebagai penguasa yang memihak.
Penting diingat, sebagaimana dikemukakan ilmuwan politik Miriam Budiardjo, esensi dari demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Jika amanah dijalankan dengan jujur, adil, dan transparan, negara akan kuat. Tetapi jika pemerintah arogan, merasa lebih tinggi dari rakyat, maka fondasi negara akan rapuh.
Karena itu, membangun kesadaran bahwa pemerintah adalah pelayan, bukan penguasa menjadi syarat utama terciptanya tata negara yang sehat. Kepercayaan rakyat adalah modal utama keberlangsungan negara. Tanpa itu, pemerintah hanya tinggal nama, sementara legitimasi perlahan hilang. Red